Puasa sunnah pada hari sabtu (3)

Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul hafidzahullah di dalam kitab At Tarjih fii Masaa-ilish Shaum waz Zakaat berkata :

Abu Dawud berkata tentang hadits Al Shama’ ” Hadits ini telah mansukh (dihapus)” (Sunan Abu Dawud, 2/806)

Kemungkinan mansukhnya hadits Al Shama’ adalah sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar rahimahullah setelah menyebutkan perkataan Abu Dawud tentang hadits Al Shama’ yang mansukh ini, ia berkata : ” Kemungkinan di masa awal Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam dulu suka bersesuaian dengan ahli kitab, namun kemudian beliau shallalllahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk menyelisihi mereka. Maka larangan puasa pada hari sabtu sesuai dengan keadaan pertama, sedangkan puasanya Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam pada hari sabtu sesuai dengan keadaan kedua, inilah bentuk naskh, wallahua’lam.”

Saya (Syaikh Muhammad Bazmul) berkata : ” Pendapat dihapusnya hukum larangan puasa pada hari sabtu tidak ada dalilnya. Oleh karena itu jika terjadi pertentangan diantara dalil yang ada, tidak serta merta langsung dibawa ke dalam bab nasikh dan mansukh karena masih mungkin untuk menempuh jalan jama’ (mengkompromikan dalil), terlebih lagi bahwa hukum asalnya tidak ada naskh (penghapusan hukum).”

Menempuh cara jama’ masih mungkin sebagaimana telah saya sampaikan sebelumnya. Dan tidak juga bisa dikatakan bahwa menjama’ dalil-dalil yang ada dengan mendahulukan dalil yang isinya larangan atas dalil yang membolehkan atau lebih mendahulukan dalil yang isinya perkataan Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam dari pada dalil yang menjelaskan perbuatan Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam. Tidak dikatakan demikian, karena berarti kita telah menempuh jalan tarjih padahal masih memungkinkan untuk menjama’ dalil.

Perbedaan antara tarjih dan jama’ :

  • Tarjih : mengamalkan satu dalil dengan menggugurkan dalil yang lainnya
  • Jama’ : mengamalkan kedua dalil tanpa menggugurkan salah satu dari dua dalil tersebut

Maka mendahulukan dalil yang melarang daripada dalil yang membolehkan termasuk salah satu metode tarjih, bukan termasuk bab jama’. Demikian juga metode mendahulukan dalil yang isinya perkataan daripada perbuatan, ini termasuk tarjih, maka perhatikanlah. . .

Jika masalah ini sudah dipahami, maka ketahuilah bahwa tidak boleh menempuh jalan tarjih jika memungkinkan untuk menjama’. Yang menguatkan hal ini adalah :

1. Syariat melarang mengkhususkan hari-hari tertentu untuk berpuasa di hari itu, namun membolehkan jika puasanya digandengkan dengan hari yang lain atau tidak dalam rangka pengkhususan. Seperti larangan puasa pada hari jum’at.

Demikian juga larangan mendahului puasa ramadhan dengan puasa satu hari atau dua hari sebelumnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Janganlah salah seorang diantara kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa satu hari atau dua hari sebelumnya kecuali jika ia sudah terbiasa berpuasa, maka hendaknya ia tetap berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Metode jama’ ini telah ditempuh oleh mayoritas ulama’ salaf dan khalaf

Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : ” Maksud tidak disukainya puasa di dalam hadits ini adalah jika seseorang mengkhususkan puasa pada hari sabtu, karena Yahudi mengagungkan hari sabtu.” (Sunan Tirmidzi, 3/120)

Dan telah berlalu perkataan Ibnu Khuzaimah dan perkataan muridnya Abu Hatim Ibnu Hibban rahimahumallah.

Al Wazir Yahya bin Muhammad bin Hurairah rahimahullah berkata : ” Para ulama’ bersepakat bahwa yang tidak disukai adalah hanya puasa pada hari sabtu atau hari jum’at kecuali jika sesuai dengan kebiasaan puasa. Dari Abu Hanifah -salah satu pendapatnya- : tidak mengapa. Imam Malik berkata : Yang tidak disukai adalah hanya berpuasa pada hari jum’at disertai pengkhususan. Al Muzani telah meriwayatkan dari Imam Syafi’i, ia berkata : Tidak terang bagi saya tentang larangan puasa pada hari jum’at kecuali jika dalam keadaan ikhtiar yaitu jika seseorang berpuasa pada hari jum’at akan menghalangi ia shalat namun jika tidak berpuasa ia bisa shalat.” (Al Ifshah, 1/252)

3. Jama’ lebih didahulukan daripada naskh dan tarjih. Karena semata-mata ada pertentangan dalil tidak boleh langsung dibawa ke naskh dan tarjih jika masih memungkinkan untuk jama’.

4. Ada hadits yang menunjukkan atas metode jama’ ini meskipun haditsnya dhaif namun bisa diambil pelajaran. Dan hadits-hadits sebelumnya menguatkan makna hadits tersebut yang menunjukkan bolehnya puasa pada hari sabtu jika digandengkan dengan puasa satu hari sebelumnya atau sesudahnya.

Imam Ahmad di dalam Musnad-nya mengeluarkan hadits : ” Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq, ia berkata : telah mengabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, ia berkata : telah mengabarkan kepada kami Musa bin Wardan, ia berkata : dari ‘Ubaid Al A’raj, ia berkata : Nenekku menceritakan kepadaku : Sesungguhnya ia masuk ke rumah Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam sedang makan siang, waktu itu adalah hari sabtu. Beliau  shallalllahu ‘alaihi wa sallam berkata : Kemarilah, makanlah. Ia berkata : Aku sedang berpuasa. Maka Nabi  shallalllahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya : Apakah engkau kemarin berpuasa ? Ia menjawab : Tidak. Maka beliau berkata : ” Makanlah, karena puasa pada hari sabtu tidak ada pahala mengerjakannya dan tidak berdosa meninggalkannya.” (Musnad Ahmad, 6/368 dan di dalam sanad hadits ini ada Ibnu Lahi’ah dan ‘Ubaid Al A’raj yang aku (Syaikh Bazmul) tidak mengetahuinya)

Hadits ini, meskipun berasal dari jalur yang tidak bisa diterima kesendirian rawi saat meriwayatkan hadits ini (sanadnya lemah), namun termasuk hadits yang menjelaskan benarnya cara menjama’ dalil dalam masalah ini. Dan hadits-hadits sebelumnya telah menguatkannya, karena saling membenarkan antara satu hadits dengan hadits yang lain. Dan maksud semua hadits sama. (Tahdzib Mukhtashar As Sunan, 3/299)

Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah berkata : ” Berdasarkan hal ini, maka makna sabda Nabi shallalllahu ‘alaihi wa sallam ” Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu” adalah janganlah kalian meniatkan khusus puasa pada hari sabtu kecuali puasa wajib. Maka (boleh) jika ada orang yang berniat puasa pada hari sabtu karena yang wajib baginya ketika itu adalah puasa pada hari sabtu. Seperti ada orang yang baru saja masuk islam dan yang tersisa dari bulan ramadhan adalah hari sabtu, maka ia berpuasa pada hari sabtu tersebut.”

Demikian juga, meniatkan khusus puasa pada hari sabtu untuk puasa wajib hukumnya tidak mengapa, berbeda jika niatnya itu untuk puasa sunnah, maka perbuatan puasa itu tidak disukai. Dan tetaplah tidak disukai jika seseorang berpuasa pada hari sabtu kecuali jika digandengkan dengan puasa hari lainnya atau jika bertepatan dengan kebiasaan puasa orang tersebut. Maka yang tidak termasuk dari karahah (dibenci) puasa pada hari sabtu untuk puasa wajib karena puasa tersebut memang puasa wajib, meskipun ia tidak digandengkan dengan puasa di hari lainnya. Sedangkan untuk puasa sunnah, yang mengeluarkan dari karahah adalah jika puasanya digabungkan atau digandengkan dengan puasa di hari yang lain, atau karena bertepatan dengan kebiasaan atau yang semisalnya.” (Tahdzib Mukhtashar As Sunan, 3/299-300)

Demikianlah pembahasan ini, wallahua’lam.

(At Tarjih fii Masaa-ilish Shaum waz Zakaat, hal : 88-95)

6 comments

  1. Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuhu,..
    Yang saya ketahui dari beberapa dalil bahwa salah satu amal shalih di 10 hari bulan Dzulhijjah yaitu memperbanyak puasa. Bagaimana jika niat tersebut di atas akan tetapi bisa puasa pada tanggal 2 Djulhijjah tepat pada hari sabtu. Karena kemarin tanggal 1 saya belum tahu, tanggal 3-nya saya sibuk nganter jemput anak ke pondok. Jadi bisa puasa hari sabtu saja terus hari senin, selasa rabu dan ke sana. Bagaimana hukum puasa saya yang pada hari sabtu bersendirian sedang niat saya puasa dalam rangka memperbanyak amal shalih di 10 pertama bulan Dzulhijjah. Ana sangat mengharap penjelasannya sebab temen2 pada ngeledekin, jadi hati ini gundah gulana. Atas pencerahannya JazakAllaha khair

    1. waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh

      1. Saya sampaikan terima kasih karena telah berkunjung ke blog ini

      2. Jika melihat apa yang antum sampaikan maka puasa antum pada hari sabtu bukan dalam rangka mengkhususkan dan mengistimewakan hari sabtu, mengingat perkataan antum ” Karena kemarin tanggal 1 saya belum tahu, tanggal 3-nya saya sibuk nganter jemput anak ke pondok. Jadi bisa puasa hari sabtu saja terus hari senin, selasa rabu dan ke sana.” maka puasa pada hari sabtu tersebut hukumnya boleh atau bahkan bisa mustahab (dianjurkan) karena termasuk memperbanyak amalan di 10 hari awal di bulan Dzulhijjah.

      Sebagaimana perincian puasa pada hari sabtu yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Bazmul hafidzahullah di https://abukarimah.wordpress.com/2011/11/01/puasa-sunnah-pada-hari-sabtu-1/

      3. Dan tidak selayaknya teman-teman antum meledek perbuatan antum tersebut, karena perbuatan antum berdasarkan dalil.

      wallahua’lam

      1. Assalamu ‘alaikum warahamatullahi wabarakaatuhu,…
        Temen ana menyerang lagi setelah ana sodori jawaban ini, mereka bertanya lagi:
        1. Penjawab mengambil ilmu dari mana, (kasarnya mondok di mana?) dan siapa teman bermajlisnya dan sekitarnya,……
        2. Bagaimana dengan mengqodo puasa wajib pada hari Sabtu bersendirian?
        3. Bagaimana dengan puasa 6 hari di bulan Syawal pada hari Sabtu bersendirian?
        4. Point 1 & 2 termasuk juga Puasa Hari Jum’at atau tidak.
        5. Katanya Rasulullah pernah bertanya kepada istri Beliau dijawab tidak ada makanan langsung Beliau berpuasa, pernah tidak kejadian itu jatuh pada hari Jum’at au Sabtu.

        Ikhwan, maksud ana bersama teman2 menanya background, bukan apa-apa kecuali ingin kejelasan, karena ini ilmu yang akan ana amalkan dan da’wahkan sampai mati, Insya Allah. Antum juga ana rasa sependapat dengan ana dan tidak keberatan mendengar pertanyaan semacam itu karena ini ilmiyah. Sungguh ana mengharapkan pencerahan supaya hilang semua syubuhat di fikiran ana dan Insya Allah akan berlanjut terus. Atas ta’awun syar’i ini JazakAllaha Khair.

      2. waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh

        1. a. Saya tidak pernah mondok, namun alhamdulillah saya pernah belajar dan menimba ilmu agama di Mahad Al Ilmi Yogyakarta. Saat di Mahad Al Ilmi saya menimba berbagai ilmu agama dari para ustadz yang ngajar disana seperti Ustadz Abu Isa , Ustadz Aris Munandar, Ustadz Abu Sa’ad, Ustadz Sa’id, Ustadz Marwan, Ustadz Abu Mushlih hafidzahumullah.
        b. Teman majlis saya adalah sesama ikhwah Mahad Al Ilmi Yogyakarta dan teman-teman yang sama-sama belajar menimba ilmu dari para asatidzah Mahad Al Ilmi

        2. Sudah ada jawabannya sebagaimana dalam hadits Al Shama’, yaitu boleh berpuasa qadha’ pada hari sabtu, karena puasa qadha’ termasuk puasa yang diwajibkan.

        3. Boleh, karena tidak ada unsur mengkhususkan puasa pada hari sabtu.

        4. Untuk keterangan puasa hari juma’t, silahkan lihat tulisan Syaikh Muhammad Bazmul di atas, meskipun ringkas.

        5. Saya tidak tahu.

        wallahua’lam

  2. Alhamdu lillah akh, ana juga kenal (dari tulisan dan kaset) Ma’had Al Ilmi bahkan ana berteman dengan ustadz2 murid Ustadz Abu Isa Hafidhahullahu ta’ala yang terkenal dengan daurah tauhid itu, Barakallahu fiik wa jazakAllaha khair

Tinggalkan komentar